Vtuber
Fenomena VTuber telah menjadi bagian integral dari budaya pop digital modern, namun di balik persona virtual yang mereka tampilkan, terdapat ironi yang sulit diabaikan. VTuber sering kali menargetkan audiens tertentu dengan strategi konten yang sangat spesifik, namun ketika audiens merespons sesuai ekspektasi baik secara positif maupun negatif para kreator ini enggan menerima konsekuensi yang muncul. Sebaliknya, mereka memainkan kartu korban, mengarahkan kesalahan sepenuhnya pada audiens, seolah-olah mereka sama sekali tidak terlibat.
📊Strategi Terang-Terangan, Ekspektasi Yang Naif
Baik VTuber yang menargetkan bocil dengan konten ringan, hiperaktif, dan penuh meme, maupun mereka yang mengandalkan "gooner bait" melalui persona sensual, memiliki kesamaan: mereka dengan sadar menarik audiens yang sangat spesifik. VTuber dengan konten bocil menarik penonton muda yang secara alami cenderung impulsif, emosional, dan sering kali kurang matang dalam merespons. Sementara itu, VTuber gooner bait merancang persona sensual untuk memikat audiens dewasa yang mencari konten dengan daya tarik seksual.
Namun, di balik strategi ini terdapat ekspektasi yang tidak realistis. VTuber berharap bocil dapat bersikap layaknya penonton dewasa yang sopan dan memahami batas-batas interaksi. Mereka juga berharap audiens gooner bait tetap menjaga tata krama meskipun konten mereka sendiri mengarah pada eksploitasi daya tarik sensual. Ketika audiens ini menunjukkan perilaku yang tidak diinginkan seperti hujatan dari "bocil" atau pesan cabul dari penggemar "gooner bait" VTuber justru mengeluh dan memainkan kartu korban.
Hipokrisi ini mencerminkan kegagalan para kreator untuk mengakui peran mereka dalam menciptakan lingkungan tersebut. Penelitian Freedman dan Sears (1965) menunjukkan bahwa individu cenderung menghindari informasi yang berlawanan dengan keyakinan mereka, karena hal tersebut dapat menimbulkan disonansi kognitif. Dalam konteks ini, VTuber hanya melihat reaksi audiens sebagai masalah, tanpa menyadari bahwa strategi konten mereka sendiri adalah pemicu utama.
🧪Memainkan Kartu Korban Dalam Drama
Ketika dinamika ini menjadi tidak terkendali, VTuber sering kali mengadopsi narasi bahwa mereka adalah korban dari "toxic audience." Mereka menempatkan diri sebagai pihak yang teraniaya tanpa melakukan refleksi terhadap bagaimana konten yang mereka produksi telah memengaruhi audiens.
Penelitian Freedman dan Sears mengungkapkan bahwa eksposur informasi sangat dipengaruhi oleh preferensi awal audiens, di mana individu cenderung mengonsumsi konten yang mendukung opini mereka sendiri sambil mengabaikan yang bertentangan. Dalam kasus VTuber gooner bait, konten sensual yang mereka sajikan secara langsung memicu respons dari audiens, meskipun respons tersebut tidak selalu sesuai dengan ekspektasi sopan santun kreator. Begitu pula dengan konten bocil, yang menciptakan lingkungan di mana perilaku impulsif menjadi hal yang lumrah.
⚖️Konsekuensi Dari Strategi yang Tidak Matang
VTuber harus mulai menerima bahwa strategi konten mereka memiliki konsekuensi yang tidak bisa diabaikan. Menargetkan audiens spesifik dengan strategi terang-terangan tetapi berharap audiens tersebut bertindak di luar karakteristik yang telah diprediksi adalah bentuk hipokrisi yang mencolok. Alih-alih terus menyalahkan audiens, mereka perlu merefleksikan peran mereka sendiri dalam membentuk perilaku yang mereka keluhkan.
📝Dunia Digital Yang Membutuhkan Kedewasaan
VTuber bukanlah korban sepenuhnya. Mereka adalah kreator yang secara aktif membangun lingkungan digital yang menarik audiens tertentu dengan segala konsekuensinya. Jika mereka ingin menciptakan ekosistem yang lebih sehat, mereka harus berhenti bermain drama kartu korban dan mulai bertanggung jawab atas dampak dari konten yang mereka buat. Sementara itu, audiens juga perlu belajar mengelola ekspektasi mereka agar dunia digital menjadi tempat yang lebih dewasa bagi semua pihak.
---
Daftar Pustaka
Freedman, J. L., & Sears, D. O. (1965). Selective Exposure. Stanford University, California.